Jumat, 04 Maret 2011

laparascopy kantong empedu


Bedah Laparaskopi meluas ke organ lain 
Monday, April 19, 2010, 10:24 AM - Kesehatan
Posted by Administrator
KEMBANGAN teknologi telah mengantarkan dunia kedokteran, khususnya bedah, kepada efektivitas dan efisiensi. Teknik bedah minimal invasif laparoskopi, misalnya, menjadi alternatif dari bedah konvensional.

Awalnya bedah laparoskopi dilakukan untuk bedah digestif (bedah bagian perut dan saluran pencernaan). Namun, kasus penyakit yang paling sering ditangani dengan teknik itu adalah laparoscopic cholecystectomy (pengangkatan kantong empedu) dan laparoscopic appendectomy (pengangkatan usus buntu yang meradang). Selain itu, bedah laparoskopi juga bisa diterapkan untuk kasus perlengketan usus, tumor usus, obesitas, hernia, dan kelenjar getah bening.

Menurut spesialis bedah saluran cerna dr Errawan R Wiradisuria SpB(K)BD, penderita batu pada kantong empedu biasanya datang dengan keluhan dispepsia (mirip sakit mag), yakni perut kembung, sakit pada ulu hati yang menjalar ke punggung, banyak sendawa, dan banyak buang angin.

''Karena keluhan yang mirip sakit mag itu, pasien biasanya hanya minum obat mag. Namun jika gejalanya terjadi terus-menerus selama tiga bulan, walaupun sudah minum obat-obatan, biasanya pasien diperiksa lebih jauh dengan USG. Dari situ, baru akan ketahuan apakah ada batu pada kantong empedunya,'' kata dr Errawan pada media edukasi tentang bedah minimal invasif (bedah laparoskopi) di Rumah Sakit Internasional Bintaro Jakarta, beberapa waktu lalu.

Jika ada indikasi untuk operasi, lanjutnya, pasien akan dianjurkan untuk operasi, terutama bila memungkinkan operasi laparoskopi. Pasien pertama-pertama akan dijelaskan mengenai penyakitnya, prosedur pengoperasian, risiko, efek-efeknya, dan keuntungan-keuntungannya.

''Jika kondisi pasien ternyata tidak memungkinkan untuk dilakukan bedah laparoskopi, prosedur pengoperasian akan dikonversikan ke bedah konvensional. Konversi bisa terjadi karena dua hal. Pertama, karena riwayat penyakit pasien. Kedua, konversi yang tidak diduga yakni terjadi karena keadaan darurat.

Prosedur

Lebih lanjut, dokter yang bertugas di RS Internasional Bintaro itu menjelaskan prosedur praoperasi laparoskopi hampir sama dengan operasi konvensional. Pasien harus puasa empat hingga enam jam sebelumnya, dibuat banyak buang air besar agar ususnya kempis. Sebelum puasa pun pasien laparoskopi akan diberikan makanan cair atau bubur, makanan yang mudah diserap, tapi rendah sisa, untuk mengurangi jumlah kotoran di saluran cerna. Kemudian pasien akan dibius total.

''Setelah pasien tertidur, tindakan operasi pertama yang dilakukan membuat sayatan di bawah lipatan pusar sepanjang 10 mm, kemudian jarum veres disuntikkan untuk memasukkan gas CO2 sampai batas kira-kira 12-14 milimeter Hg. Dengan pemberian gas CO2 itu, perut pasien akan menggembung. Itu bertujuan agar usus tertekan ke bawah dan menciptakan ruang di dalam perut untuk pengoperasian,'' jelas dr Errawan.

Setelah perut terisi gas CO2, tambahnya, alat trocar dimasukkan. Alat itu seperti pipa dengan klep untuk akses kamera dan alat-alat lain selama pembedahan. Ada empat trocar yang dipasang di tubuh. Pertama, terletak di pusar. Kedua, kira-kira letaknya 2-4 cm dari tulang dada (antara dada dan pusar) selebar 5-10 mm. Trocar ketiga dipasang di pertengahan trocar kedua agak ke sebelah kanan (di bawah tulang iga), selebar 2-3 atau 5 mm. Trocar keempat, bilamana diperlukan, akan dipasang di sebelah kanan bawah, selebar 5 mm.

''Melalui trocar inilah alat-alat, seperti gunting, pisau ultrasonik, dan kamera, dimasukkan dan digerakkan. Trocar pertama berfungsi sebagai 'mata' dokter, yaitu tempat dimasukkannya kamera. Dokter akan melihat organ-organ tubuh kita dan bagian yang perlu dibuang melalui kamera tersebut yang disalurkan ke monitor. Sementara itu, trocar kedua sampai keempat merupakan trocar kerja,'' kata dr Errawan menjelaskan tayangan video yang merekam jalannya operasi pengangkatan batu empedu.

Dalam tayangan video itu pun terlihat bagaimana jarum untuk menjahit organ-organ yang dipotong atau mengalami pendarahan dimasukkan melalui trocar. Selain itu, ada pula klip-klip dari titanium, yang aman dan bisa digunakan sebagai ganti jahitan. Klip itu berfungsi menyambungkan dua bagian yang terpisah.

''Klip dari titanium akan dipasang dalam tubuh secara permanen, seumur hidup. Sebelumnya, kita harus mengatakan kepada pasien dan keluarganya kalau ada benda asing yang akan ditinggalkan di dalam tubuh pasien," jelas dr Errawan.

Bahkan bekas sobekan tersebut, tambahnya, tidak perlu dijahit, dan hanya menggunakan lem yang disebut human skin glue. Masa pulihnya pun lebih cepat, yaitu sekitar tiga hari, pasien sudah diperbolehkan pulang.

Risiko

Operasi laparoskopi, kata dr Errawan, biasanya berlangsung sekitar 20 menit sampai dua jam, tergantung tingkat kesulitan tiap orang. Adapun risiko yang mungkin terjadi ketika operasi berlangsung adalah perlengketan akibat infeksi yang berulang.

Infeksi bisa disebabkan pengobatan yang tidak tuntas sebelum operasi. Sementara itu, perlengketan berarti organ-organ yang menempel harus dipisahkan dan itu bisa mengakibatkan perdarahan.

''Risiko ini bisa berasal dari tiga pihak. Pertama pihak pasien yaitu adanya penyakit atau infeksi yang tidak ditangani secepatnya. Kedua dari pihak dokter yaitu kemampuannya menguasai teknik laparoskopi. Ketiga, faktor alat-alat, termasuk rumah sakit, apakah alat-alat itu sudah rusak atau lama.

Di hadapan para wartawan, dr Errawan mengatakan bedah laparoskopi sebetulnya sudah ada di Indonesia sejak 1991. Pembedahan pertama kali dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional (RSUPN) Cipto Mangunkusumo. Hingga saat ini, perkembangan alat-alat laparoskopi semakin maju, meliputi penggunaan monitor high definition yang membuat gambar tampak lebih jelas. Ada pula lampu kamera yang terang, tapi tidak panas. Alat pemotong yang digunakan adalah gunting atau pisau ultrasonik yang jika digunakan tidak akan menyebabkan perdarahan.

Soal biaya, ujarnya lagi, prosedur laparoskopi memang lebih mahal daripada bedah konvensional yakni bisa mencapai tiga kali lipat dari biaya bedah konvensional. Hal itu disebabkan teknologi dan alat-alat yang digunakan sudah lebih canggih dan hanya sekali pakai.

''Namun jika dihitung secara keseluruhan sampai biaya perawatan pascaoperasi, biaya yang dikeluarkan hampir sama. Perawatan pascabedah laparoskopi hanya dua sampai tiga hari, sedangkan pada bedah konvensional perawatan penyembuhan pascaoperasi bisa mencapai lima hari sampai seminggu. Ini yang membuat bedah laparoskopi lebih efektif,'' urainya.

Namun, kata dr Errawan, belum semua dokter bedah saluran cerna bisa melakukan prosedur bedah minimal invasif. Bahkan para dokter bedah harus mengikuti pelatihan khusus untuk bisa melakukan bedah laparoskopi. Hingga saat ini, sudah ada sekitar 80 dokter yang sudah bisa melakukan bedah laparoskopi di Indonesia, sedangkan di Jakarta ada sekitar 40 dokter yang sudah bisa menangani operasi itu. (*/S-4)

Sumber:
http://www.stikom.edu/main.php?act=ber& ... amp;id=895

[ add comment ]   |  permalink  |   ( 0 / 0 )

Batu Empedu 
Sunday, April 18, 2010, 10:19 AM - Kesehatan
Posted by Administrator
Batu empedu adalah timbunan kristal di dalam kandung empedu atau di dalam saluran empedu. Batu yang ditemukan di dalam kandung empedu disebut kolelitiasis, sedangkan batu di dalam saluran empedu disebut koledokolitiasis.

Penyebab
Komponen utama dari batu empedu adalah kolesterol, sebagian kecil lainnya terbentuk dari garam kalsium. Cairan empedu mengandung sejumlah besar kolesterol yang biasanya tetap berbentuk cairan. Jika cairan empedu menjadi jenuh karena kolesterol, maka kolesterol bisa menjadi tidak larut dan membentuk endapan di luar empedu.

Faktor Risiko
1. Batu empedu lebih banyak ditemukan pada wanita dan faktor risikonya adalah :
2. Usia lanjut.
3. Kegemukan (obesitas).
4. Diet tinggi lemak.
5. Faktor keturunan.

Patofisiologi
Sebagian besar batu empedu terbentuk di dalam kandung empedu dan sebagian besar batu di dalam saluran empedu berasal dari kandung empedu. Batu empedu bisa terbentuk di dalam saluran empedu jika empedu mengalami aliran balik karena adanya penyempitan saluran atau setelah dilakukan pengangkatan kandung empedu.

Batu empedu di dalam saluran empedu bisa mengakibatkan infeksi hebat saluran empedu (kolangitis), infeksi pankreas (pankreatitis) atau infeksi hati. Jika saluran empedu tersumbat, maka bakteri akan tumbuh dan dengan segera menimbulkan infeksi di dalam saluran. Bakteri bisa menyebar melalui aliran darah dan menyebabkan infeksi di bagian tubuh lainnya.

Sebagian besar batu empedu dalam jangka waktu yang lama tidak menimbulkan gejala, terutama bila batu menetap di kandung empedu. Kadang-kadang batu yang besar secara bertahap akan mengikis dinding kandung empedu dan masuk ke usus halus atau usus besar, dan menyebabkan penyumbatan usus (ileus batu empedu).

Yang lebih sering terjadi adalah batu empedu keluar dari kandung empedu dan masuk ke dalam saluran empedu. Dari saluran empedu, batu empedu bisa masuk ke usus halus atau tetap berada di dalam saluran empedu tanpa menimbulkan gangguan aliran empedu maupun gejala.

Gejala dan Tanda
Jika batu empedu secara tiba-tiba menyumbat saluran empedu, maka penderita akan merasakan nyeri. Nyeri cenderung hilang-timbul dan dikenal sebagai nyeri kolik. Timbul secara perlahan dan mencapai puncaknya, kemudian berkurang secara bertahap. Nyeri bersifat tajam dan hilang-timbul, bisa berlangsung sampai beberapa jam. Lokasi nyeri berlainan, tetapi paling banyak dirasakan di perut atas sebelah kanan dan bisa menjalar ke bahu kanan.

Penderita seringkali merasakan mual dan muntah. Jika terjadi infeksi bersamaan dengan penyumbatan saluran, maka akan timbul demam, menggigil dan sakit kuning (jaundice). Biasanya penyumbatan bersifat sementara dan jarang terjadi infeksi.

Nyeri akibat penyumbatan saluran tidak dapat dibedakan dengan nyeri akibat penyumbatan kandung empedu. Penyumbatan menetap pada duktus sistikus menyebabkan terjadinya peradangan kandung empedu (kolesistitis akut). Batu empedu yang menyumbat duktus pankreatikus menyebabkan terjadinya peradangan pankreas (pankreatitis), nyeri, jaundice dan mungkin juga infeksi.

Kadang nyeri yang hilang-timbul kambuh kembali setelah kandung empedu diangkat, nyeri ini mungkin disebabkan oleh adanya batu empedu di dalam saluran empedu utama.

Komplikasi
Komplikasi yang mungkin segera terjadi adalah:
* Perdarahan
* Peradangan pankreas (pankreatitis).
* Perforasi atau infeksi saluran empedu.
Pada 2-6% penderita, saluran menciut kembali dan batu empedu muncul lagi.

Pencegahan
Karena komposisi terbesar batu empedu adalah kolesterol, sebaiknya menghindari makanan berkolesterol tinggi yang pada umumnya berasal dari lemak hewani.

Penatalaksanaan
Jika tidak ditemukan gejala, maka tidak perlu dilakukan pengobatan. Nyeri yang hilang-timbul bisa dihindari atau dikurangi dengan menghindari atau mengurangi makanan berlemak.

Batu kandung empedu
Jika batu kandung empedu menyebabkan serangan nyeri berulang meskipun telah dilakukan perubahan pola makan, maka dianjurkan untuk menjalani pengangkatan kandung empedu (kolesistektomi). Pengangkatan kandung empedu tidak menyebabkan kekurangan zat gizi dan setelah pembedahan tidak perlu dilakukan pembatasan makanan.

Kolesistektomi laparoskopik mulai diperkenalkan pada tahun 1990 dan sekarang ini sekitar 90% kolesistektomi dilakukan secara laparoskopi. Kandung empedu diangkat melalui selang yang dimasukkan lewat sayatan kecil di dinding perut. Jenis pembedahan ini memiliki keuntungan sebagai berikut:
* Mengurangi rasa tidak nyaman pasca pembedahan.
* Memperpendek masa perawatan di rumah sakit.

Teknik lainnya untuk menghilangkan batu kandung empedu adalah:
* Pelarutan dengan metil-butil-eter.
* Pemecahan dengan gelombang suara (litotripsi).
* Pelarutan dengan terapi asam empedu menahun (asam kenodiol dan asam ursodeoksikolik).

Batu saluran empedu
batu saluran empedu bisa menyebabkan masalah yang serius, karena itu harus dikeluarkan baik melalui pembedahan perut maupun melalui suatu prosedur yang disebut endoscopic retrograde cholangiopancreatography (ERCP). Pada ERCP, suatu endoskop dimasukkan melalui mulut, kerongkongan, lambung dan ke dalam usus halus.

Zat kontras radioopak masuk ke dalam saluran empedu melalui sebuah selang di dalam sfingter oddi. Pada sfingterotomi, otot sfingter dibuka agak lebar sehingga batu empedu yang menyumbat saluran akan berpindah ke usus halus. ERCP dan sfingterotomi telah berhasil dilakukan pada 90% kasus. Kurang dari 4 dari setiap 1.000 penderita yang meninggal dan 3-7% mengalami komplikasi, sehingga prosedur ini lebih aman dibandingkan pembedahan perut. ERCP saja biasanya efektif dilakukan pada penderita batu saluran empedu yang lebih tua, yang kandung empedunya telah diangkat.

Sumber:
http://www.blogdokter.net/2007/03/08/batu-empedu/
Bedah Laparaskopi meluas ke organ lain 
Monday, April 19, 2010, 10:24 AM - Kesehatan
Posted by Administrator
KEMBANGAN teknologi telah mengantarkan dunia kedokteran, khususnya bedah, kepada efektivitas dan efisiensi. Teknik bedah minimal invasif laparoskopi, misalnya, menjadi alternatif dari bedah konvensional.

Awalnya bedah laparoskopi dilakukan untuk bedah digestif (bedah bagian perut dan saluran pencernaan). Namun, kasus penyakit yang paling sering ditangani dengan teknik itu adalah laparoscopic cholecystectomy (pengangkatan kantong empedu) dan laparoscopic appendectomy (pengangkatan usus buntu yang meradang). Selain itu, bedah laparoskopi juga bisa diterapkan untuk kasus perlengketan usus, tumor usus, obesitas, hernia, dan kelenjar getah bening.

Menurut spesialis bedah saluran cerna dr Errawan R Wiradisuria SpB(K)BD, penderita batu pada kantong empedu biasanya datang dengan keluhan dispepsia (mirip sakit mag), yakni perut kembung, sakit pada ulu hati yang menjalar ke punggung, banyak sendawa, dan banyak buang angin.

''Karena keluhan yang mirip sakit mag itu, pasien biasanya hanya minum obat mag. Namun jika gejalanya terjadi terus-menerus selama tiga bulan, walaupun sudah minum obat-obatan, biasanya pasien diperiksa lebih jauh dengan USG. Dari situ, baru akan ketahuan apakah ada batu pada kantong empedunya,'' kata dr Errawan pada media edukasi tentang bedah minimal invasif (bedah laparoskopi) di Rumah Sakit Internasional Bintaro Jakarta, beberapa waktu lalu.

Jika ada indikasi untuk operasi, lanjutnya, pasien akan dianjurkan untuk operasi, terutama bila memungkinkan operasi laparoskopi. Pasien pertama-pertama akan dijelaskan mengenai penyakitnya, prosedur pengoperasian, risiko, efek-efeknya, dan keuntungan-keuntungannya.

''Jika kondisi pasien ternyata tidak memungkinkan untuk dilakukan bedah laparoskopi, prosedur pengoperasian akan dikonversikan ke bedah konvensional. Konversi bisa terjadi karena dua hal. Pertama, karena riwayat penyakit pasien. Kedua, konversi yang tidak diduga yakni terjadi karena keadaan darurat.

Prosedur

Lebih lanjut, dokter yang bertugas di RS Internasional Bintaro itu menjelaskan prosedur praoperasi laparoskopi hampir sama dengan operasi konvensional. Pasien harus puasa empat hingga enam jam sebelumnya, dibuat banyak buang air besar agar ususnya kempis. Sebelum puasa pun pasien laparoskopi akan diberikan makanan cair atau bubur, makanan yang mudah diserap, tapi rendah sisa, untuk mengurangi jumlah kotoran di saluran cerna. Kemudian pasien akan dibius total.

''Setelah pasien tertidur, tindakan operasi pertama yang dilakukan membuat sayatan di bawah lipatan pusar sepanjang 10 mm, kemudian jarum veres disuntikkan untuk memasukkan gas CO2 sampai batas kira-kira 12-14 milimeter Hg. Dengan pemberian gas CO2 itu, perut pasien akan menggembung. Itu bertujuan agar usus tertekan ke bawah dan menciptakan ruang di dalam perut untuk pengoperasian,'' jelas dr Errawan.

Setelah perut terisi gas CO2, tambahnya, alat trocar dimasukkan. Alat itu seperti pipa dengan klep untuk akses kamera dan alat-alat lain selama pembedahan. Ada empat trocar yang dipasang di tubuh. Pertama, terletak di pusar. Kedua, kira-kira letaknya 2-4 cm dari tulang dada (antara dada dan pusar) selebar 5-10 mm. Trocar ketiga dipasang di pertengahan trocar kedua agak ke sebelah kanan (di bawah tulang iga), selebar 2-3 atau 5 mm. Trocar keempat, bilamana diperlukan, akan dipasang di sebelah kanan bawah, selebar 5 mm.

''Melalui trocar inilah alat-alat, seperti gunting, pisau ultrasonik, dan kamera, dimasukkan dan digerakkan. Trocar pertama berfungsi sebagai 'mata' dokter, yaitu tempat dimasukkannya kamera. Dokter akan melihat organ-organ tubuh kita dan bagian yang perlu dibuang melalui kamera tersebut yang disalurkan ke monitor. Sementara itu, trocar kedua sampai keempat merupakan trocar kerja,'' kata dr Errawan menjelaskan tayangan video yang merekam jalannya operasi pengangkatan batu empedu.

Dalam tayangan video itu pun terlihat bagaimana jarum untuk menjahit organ-organ yang dipotong atau mengalami pendarahan dimasukkan melalui trocar. Selain itu, ada pula klip-klip dari titanium, yang aman dan bisa digunakan sebagai ganti jahitan. Klip itu berfungsi menyambungkan dua bagian yang terpisah.

''Klip dari titanium akan dipasang dalam tubuh secara permanen, seumur hidup. Sebelumnya, kita harus mengatakan kepada pasien dan keluarganya kalau ada benda asing yang akan ditinggalkan di dalam tubuh pasien," jelas dr Errawan.

Bahkan bekas sobekan tersebut, tambahnya, tidak perlu dijahit, dan hanya menggunakan lem yang disebut human skin glue. Masa pulihnya pun lebih cepat, yaitu sekitar tiga hari, pasien sudah diperbolehkan pulang.

Risiko

Operasi laparoskopi, kata dr Errawan, biasanya berlangsung sekitar 20 menit sampai dua jam, tergantung tingkat kesulitan tiap orang. Adapun risiko yang mungkin terjadi ketika operasi berlangsung adalah perlengketan akibat infeksi yang berulang.

Infeksi bisa disebabkan pengobatan yang tidak tuntas sebelum operasi. Sementara itu, perlengketan berarti organ-organ yang menempel harus dipisahkan dan itu bisa mengakibatkan perdarahan.

''Risiko ini bisa berasal dari tiga pihak. Pertama pihak pasien yaitu adanya penyakit atau infeksi yang tidak ditangani secepatnya. Kedua dari pihak dokter yaitu kemampuannya menguasai teknik laparoskopi. Ketiga, faktor alat-alat, termasuk rumah sakit, apakah alat-alat itu sudah rusak atau lama.

Di hadapan para wartawan, dr Errawan mengatakan bedah laparoskopi sebetulnya sudah ada di Indonesia sejak 1991. Pembedahan pertama kali dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional (RSUPN) Cipto Mangunkusumo. Hingga saat ini, perkembangan alat-alat laparoskopi semakin maju, meliputi penggunaan monitor high definition yang membuat gambar tampak lebih jelas. Ada pula lampu kamera yang terang, tapi tidak panas. Alat pemotong yang digunakan adalah gunting atau pisau ultrasonik yang jika digunakan tidak akan menyebabkan perdarahan.

Soal biaya, ujarnya lagi, prosedur laparoskopi memang lebih mahal daripada bedah konvensional yakni bisa mencapai tiga kali lipat dari biaya bedah konvensional. Hal itu disebabkan teknologi dan alat-alat yang digunakan sudah lebih canggih dan hanya sekali pakai.

''Namun jika dihitung secara keseluruhan sampai biaya perawatan pascaoperasi, biaya yang dikeluarkan hampir sama. Perawatan pascabedah laparoskopi hanya dua sampai tiga hari, sedangkan pada bedah konvensional perawatan penyembuhan pascaoperasi bisa mencapai lima hari sampai seminggu. Ini yang membuat bedah laparoskopi lebih efektif,'' urainya.

Namun, kata dr Errawan, belum semua dokter bedah saluran cerna bisa melakukan prosedur bedah minimal invasif. Bahkan para dokter bedah harus mengikuti pelatihan khusus untuk bisa melakukan bedah laparoskopi. Hingga saat ini, sudah ada sekitar 80 dokter yang sudah bisa melakukan bedah laparoskopi di Indonesia, sedangkan di Jakarta ada sekitar 40 dokter yang sudah bisa menangani operasi itu. (*/S-4)

Sumber:
http://www.stikom.edu/main.php?act=ber& ... amp;id=895

[ add comment ]   |  permalink  |   ( 0 / 0 )

Batu Empedu 
Sunday, April 18, 2010, 10:19 AM - Kesehatan
Posted by Administrator
Batu empedu adalah timbunan kristal di dalam kandung empedu atau di dalam saluran empedu. Batu yang ditemukan di dalam kandung empedu disebut kolelitiasis, sedangkan batu di dalam saluran empedu disebut koledokolitiasis.

Penyebab
Komponen utama dari batu empedu adalah kolesterol, sebagian kecil lainnya terbentuk dari garam kalsium. Cairan empedu mengandung sejumlah besar kolesterol yang biasanya tetap berbentuk cairan. Jika cairan empedu menjadi jenuh karena kolesterol, maka kolesterol bisa menjadi tidak larut dan membentuk endapan di luar empedu.

Faktor Risiko
1. Batu empedu lebih banyak ditemukan pada wanita dan faktor risikonya adalah :
2. Usia lanjut.
3. Kegemukan (obesitas).
4. Diet tinggi lemak.
5. Faktor keturunan.

Patofisiologi
Sebagian besar batu empedu terbentuk di dalam kandung empedu dan sebagian besar batu di dalam saluran empedu berasal dari kandung empedu. Batu empedu bisa terbentuk di dalam saluran empedu jika empedu mengalami aliran balik karena adanya penyempitan saluran atau setelah dilakukan pengangkatan kandung empedu.

Batu empedu di dalam saluran empedu bisa mengakibatkan infeksi hebat saluran empedu (kolangitis), infeksi pankreas (pankreatitis) atau infeksi hati. Jika saluran empedu tersumbat, maka bakteri akan tumbuh dan dengan segera menimbulkan infeksi di dalam saluran. Bakteri bisa menyebar melalui aliran darah dan menyebabkan infeksi di bagian tubuh lainnya.

Sebagian besar batu empedu dalam jangka waktu yang lama tidak menimbulkan gejala, terutama bila batu menetap di kandung empedu. Kadang-kadang batu yang besar secara bertahap akan mengikis dinding kandung empedu dan masuk ke usus halus atau usus besar, dan menyebabkan penyumbatan usus (ileus batu empedu).

Yang lebih sering terjadi adalah batu empedu keluar dari kandung empedu dan masuk ke dalam saluran empedu. Dari saluran empedu, batu empedu bisa masuk ke usus halus atau tetap berada di dalam saluran empedu tanpa menimbulkan gangguan aliran empedu maupun gejala.

Gejala dan Tanda
Jika batu empedu secara tiba-tiba menyumbat saluran empedu, maka penderita akan merasakan nyeri. Nyeri cenderung hilang-timbul dan dikenal sebagai nyeri kolik. Timbul secara perlahan dan mencapai puncaknya, kemudian berkurang secara bertahap. Nyeri bersifat tajam dan hilang-timbul, bisa berlangsung sampai beberapa jam. Lokasi nyeri berlainan, tetapi paling banyak dirasakan di perut atas sebelah kanan dan bisa menjalar ke bahu kanan.

Penderita seringkali merasakan mual dan muntah. Jika terjadi infeksi bersamaan dengan penyumbatan saluran, maka akan timbul demam, menggigil dan sakit kuning (jaundice). Biasanya penyumbatan bersifat sementara dan jarang terjadi infeksi.

Nyeri akibat penyumbatan saluran tidak dapat dibedakan dengan nyeri akibat penyumbatan kandung empedu. Penyumbatan menetap pada duktus sistikus menyebabkan terjadinya peradangan kandung empedu (kolesistitis akut). Batu empedu yang menyumbat duktus pankreatikus menyebabkan terjadinya peradangan pankreas (pankreatitis), nyeri, jaundice dan mungkin juga infeksi.

Kadang nyeri yang hilang-timbul kambuh kembali setelah kandung empedu diangkat, nyeri ini mungkin disebabkan oleh adanya batu empedu di dalam saluran empedu utama.

Komplikasi
Komplikasi yang mungkin segera terjadi adalah:
* Perdarahan
* Peradangan pankreas (pankreatitis).
* Perforasi atau infeksi saluran empedu.
Pada 2-6% penderita, saluran menciut kembali dan batu empedu muncul lagi.

Pencegahan
Karena komposisi terbesar batu empedu adalah kolesterol, sebaiknya menghindari makanan berkolesterol tinggi yang pada umumnya berasal dari lemak hewani.

Penatalaksanaan
Jika tidak ditemukan gejala, maka tidak perlu dilakukan pengobatan. Nyeri yang hilang-timbul bisa dihindari atau dikurangi dengan menghindari atau mengurangi makanan berlemak.

Batu kandung empedu
Jika batu kandung empedu menyebabkan serangan nyeri berulang meskipun telah dilakukan perubahan pola makan, maka dianjurkan untuk menjalani pengangkatan kandung empedu (kolesistektomi). Pengangkatan kandung empedu tidak menyebabkan kekurangan zat gizi dan setelah pembedahan tidak perlu dilakukan pembatasan makanan.

Kolesistektomi laparoskopik mulai diperkenalkan pada tahun 1990 dan sekarang ini sekitar 90% kolesistektomi dilakukan secara laparoskopi. Kandung empedu diangkat melalui selang yang dimasukkan lewat sayatan kecil di dinding perut. Jenis pembedahan ini memiliki keuntungan sebagai berikut:
* Mengurangi rasa tidak nyaman pasca pembedahan.
* Memperpendek masa perawatan di rumah sakit.

Teknik lainnya untuk menghilangkan batu kandung empedu adalah:
* Pelarutan dengan metil-butil-eter.
* Pemecahan dengan gelombang suara (litotripsi).
* Pelarutan dengan terapi asam empedu menahun (asam kenodiol dan asam ursodeoksikolik).

Batu saluran empedu
batu saluran empedu bisa menyebabkan masalah yang serius, karena itu harus dikeluarkan baik melalui pembedahan perut maupun melalui suatu prosedur yang disebut endoscopic retrograde cholangiopancreatography (ERCP). Pada ERCP, suatu endoskop dimasukkan melalui mulut, kerongkongan, lambung dan ke dalam usus halus.

Zat kontras radioopak masuk ke dalam saluran empedu melalui sebuah selang di dalam sfingter oddi. Pada sfingterotomi, otot sfingter dibuka agak lebar sehingga batu empedu yang menyumbat saluran akan berpindah ke usus halus. ERCP dan sfingterotomi telah berhasil dilakukan pada 90% kasus. Kurang dari 4 dari setiap 1.000 penderita yang meninggal dan 3-7% mengalami komplikasi, sehingga prosedur ini lebih aman dibandingkan pembedahan perut. ERCP saja biasanya efektif dilakukan pada penderita batu saluran empedu yang lebih tua, yang kandung empedunya telah diangkat.

Sumber:
http://www.blogdokter.net/2007/03/08/batu-empedu/

Sabtu, 26 Februari 2011

demam berdarah pada anak


ASUHAN KEPERAWATAN ANAK
PADA PASIEN DENGAN DEMAM BERDARAH DENGUE


I.          PENGERTIAN

DHF adalah suatu  infeksi  arbovirus akut yang masuk ke dalam tubuh melalui gigitan nyamuk spesies aides. Penyakit ini sering menyerang anak, remaja, dan dewasa yang ditandai dengan demam, nyeri otot dan sendi. Demam Berdarah Dengue sering disebut pula Dengue Haemoragic Fever ( DHF ).

II.    PATOFISIOLOGI

Setelah virus dengue masuk ke dalam tubuh, pasien akan mengalami keluhan dan gejala karena viremia, seperti demam, sakit kepala, mual, nyeri otot, pegal seluruh badan, hiperemi ditenggorokan, timbulnya ruam dan kelainan yang mungkin muncul pada system retikuloendotelial seperti pembesaran kelenjar-kelenjar getah bening, hati dan limpa. Ruam pada DHF disebabkan karena kongesti pembuluh darah dibawah kulit.
Fenomena patofisiologi utama yang menentukan berat penyakit dan membedakan DF dan DHF ialah meningginya permeabilitas dinding kapiler karena pelepasan zat anafilaktosin, histamin dan serotonin serta aktivasi system kalikreain yang berakibat ekstravasasi cairan intravaskuler. Hal ini berakibat berkurangnya volume plama, terjadinya hipotensi, hemokonsentrasi, hipoproteinemia, efusi dan renjatan.
Adanya kebocoran plasma ke daerah ekstravaskuler ibuktikan dengan ditemukannya cairan dalam rongga serosa, yaitu dalam rongga peritoneum, pleura dan perikard. Renjatan hipovolemik yang terjadi sebagai akibat kehilangan plasma, bila tidak segera teratasi akan terjadi anoxia jaringan, asidosis metabolic dan kematian. Sebab lain kematian pada DHF adalah perdarahan hebat. Perdarahan umumnya dihubungkan dengan trombositopenia, gangguan fungsi trombosit dan kelainan fungsi trombosit.
Fungsi agregasi trombosit menurun mungkin disebabkan proses imunologis terbukti dengan terdapatnya kompleks imun dalam peredaran darah. Kelainan system koagulasi disebabkan diantaranya oleh kerusakan hati yang fungsinya memang tebukti terganggu oleh aktifasi system koagulasi. Masalah terjadi tidaknya DIC pada DHF/ DSS, terutama pada pasien dengan perdarahan hebat.

III.    KLASIFIKASI DHF

WHO, 1986 mengklasifikasikan DHF menurut derajat penyakitnya menjadi 4 golongan, yaitu :
Derajat I
Demam disertai gejala klinis lain, tanpa perdarahan spontan. Panas 2-7 hari, Uji tourniquet positif, trombositipenia, dan hemokonsentrasi.
Derajat II
Sama dengan derajat I, ditambah dengan gejala-gejala perdarahan spontan seperti petekie, ekimosis, hematemesis, melena, perdarahan gusi.
Derajat III
Ditandai oleh gejala kegagalan peredaran darah seperti nadi lemah dan cepat (>120x/mnt ) tekanan nadi sempit ( £ 120 mmHg ), tekanan darah menurun, (120/80 ® 120/100 ® 120/110 ® 90/70 ® 80/70 ® 80/0 ® 0/0 )
Derajat IV
Nadi tidak teaba, tekanan darah tidak teatur (denyut jantung ³ 140x/mnt) anggota gerak teraba dingin, berkeringat dan kulit tampak biru.


IV.    TANDA DAN GEJALA

Selain tanda dan gejala yang ditampilkan berdasarkan derajat penyakitnya, tanda dangejala lain adalah :
-          Hati membesar, nyeri spontan yang diperkuat dengan reaksi perabaan.
-          Asites
-          Cairan dalam rongga pleura ( kanan )
-          Ensephalopati : kejang, gelisah, sopor koma.

V.       PEMERIKSAAN DAN DIGNOSIS

-          Trombositopeni ( £ 100.000/mm3)
-          Hb dan PCV meningkat ( ³ 20% )
-          Leukopeni ( mungkin normal atau lekositosis )
-          Isolasi virus
-          Serologi ( Uji H ): respon antibody sekunder
-          Pada renjatan yang berat, periksa : Hb, PCV berulang kali ( setiap jam atau 4-6 jam apabila sudah menunjukkan tanda perbaikan ), Faal hemostasis, FDP, EKG, Foto dada, BUN, creatinin serum.

VI.    PENATALAKSANAAN

Indikasi rawat tinggal pada dugaan infeksi virus dengue :
-          Panas 1-2 hari disertai dehidrasi ( karena panas, muntah, masukan kurang ) atau kejang-kejang.
-          Panas 3-5 hari disertai nyeri perut, pembesaran hati, uji tourniquet positif / negatif, kesan sakit keras ( tidak mau bermain ), Hb dan PCV meningkat.
-          Panas disertai perdarahan
-          Panas disertai renjatan.

Belum atau tanpa renjatan:
1.      Grade I dan II :
a.       Oral ad libitum atau
b.      Infus cairan Ringer Laktat dengan dosis 75 ml/Kg BB/hari untuk anak dengan BB < 10 kg atau 50 ml/Kg BB/hari untuk anak dengan BB < 10 kg bersama-sama diberikan minuman oralit, air buah atau susu secukupnya.
Untuk kasus yang menunjukkan gejala dehidrasi disarankan minum sebnyak-banyaknya dan sesering mungkin.
Apabila anak tidak suka minum sama sekali sebaiknya jumlah cairan infus yang harus diberikan sesuai dengan kebutuhan cairan penderita dalam kurun waktu 24 jam yang diestimasikan sebagai berikut :
·         100 ml/Kg BB/24 jam, untuk anak dengan BB < 25 Kg
·         75 ml/KgBB/24 jam, untuk anak dengan BB 26-30 kg
·         60 ml/KgBB/24 jam, untuk anak dengan BB 31-40 kg
·         50 ml/KgBB/24 jam, untuk anak dengan BB 41-50 kg
·         Obat-obatan lain : antibiotika apabila ada infeksi lain, antipiretik untuk anti panas, darah 15 cc/kgBB/hari perdarahan hebat.

Dengan Renjatan ;
2.      Grade III
a.       Berikan infus Ringer Laktat 20 mL/KgBB/1 jam
Apabila menunjukkan perbaikan (tensi terukur lebih dari 80 mmHg dan nadi teraba dengan frekuensi kurang dari 120/mnt dan akral hangat) lanjutkan dengan Ringer Laktat 10 mL/KgBB/1jam. Jika nadi dan tensi stabil lanjutkan infus tersebut dengan jumlah cairan dihitung berdasarkan kebutuhan cairan dalam kurun waktu 24 jam dikurangi cairan yang sudah masuk dibagi dengan sisa waktu ( 24 jam dikurangi waktu yang dipakai untuk mengatasi renjatan ). Perhitungan kebutuhan cairan dalam 24 jm diperhitungkan sebagai berikut :
·         100 mL/Kg BB/24 jam untuk anak dengan BB < 25 Kg
·         75 mL/Kg BB/24 jam untuk anak dng berat badan 26-30 Kg.
·         60 mL/Kg BB/24 jam untuk anak dengan BB 31-40 Kg.
·         50 mL/Kg BB/24 jam untuk anak dengan BB 41-50 Kg.

b.      Apabila satu jam setelah pemakaian cairan RL 20 mL/Kg BB/1 jam keadaan  tensi masih terukur kurang dari 80 mmHg dan andi cepat lemah, akral dingin maka penderita tersebut memperoleh plasma atau plasma ekspander ( dextran L atau yang lainnya ) sebanyak 10 mL/ Kg BB/ 1 jam dan dapat diulang maksimal 30 mL/Kg BB dalam kurun waktu 24 jam. Jika keadaan umum membai dilanjutkan cairan RL sebanyk kebutuhan cairan selama 24 jam dikurangi cairan yang sudah masuk dibagi sisa waktu setelah dapat mengatasi renjatan.

c.       Apabila satu jam setelah pemberian cairan Ringer Laktat 10 mL/Kg BB/ 1 jam keadaan tensi menurun lagi, tetapi masih terukur kurang 80 mmHg dan nadi cepat lemah, akral dingin maka penderita tersebut harus memperoleh plasma atau plasma ekspander (dextran L atau lainnya) sebanyak 10 Ml/Kg BB/ 1 jam. Dan dapat diulang maksimal 30 mg/Kg BB dalam kurun waktu 24 jam.


VII. ASUHAN KEPERAWATAN

1.         Pengkajian
1.1  Identitas
DHF merupakan penyakit daerah tropis yang sering menyebabkan kematian anak, remaja dan dewasa ( Effendy, 1995 )
1.2  Keluhan Utama
Pasien mengeluh panas, sakit kepala, lemah, nyeri ulu hati, mual dan nafsu makan menurun.
1.3  Riwayat penyakit sekarang
Riwayat kesehatan menunjukkan adanya sakit kepala, nyeri otot, pegal seluruh tubuh, sakit pada waktu menelan, lemah, panas, mual, dan nafsu makan menurun.
1.4  Riwayat penyakit terdahulu
Tidak ada penyakit yang diderita secara specific.
1.5  Riwayat penyakit keluarga
Riwayat adanya penyakit DHF pada anggota keluarga yang lain sangat menentukan, karena penyakit DHF adalah penyakit yang bisa ditularkan melalui gigitan nyamuk aides aigepty.
1.6  Riwayat Kesehatan Lingkungan
Biasanya lingkungan kurang bersih, banyak genangan air bersih seperti kaleng bekas, ban bekas, tempat air minum burung yang jarang diganti airnya, bak mandi jarang dibersihkan.
1.7  Riwayat Tumbuh Kembang
1.8  Pengkajian Per Sistem
1.8.1        Sistem Pernapasan
Sesak, perdarahan melalui hidung, pernapasan dangkal, epistaksis, pergerakan dada simetris, perkusi sonor, pada auskultasi terdengar ronchi, krakles.
1.8.2        Sistem Persyarafan
Pada grade III pasien gelisah dan terjadi penurunan kesadaran serta pada grade IV dapat trjadi DSS
1.8.3        Sistem Cardiovaskuler
Pada grde I dapat terjadi hemokonsentrasi, uji tourniquet positif, trombositipeni, pada grade III dapat terjadi kegagalan sirkulasi, nadi cepat, lemah, hipotensi, cyanosis sekitar mulut, hidung dan jari-jari, pada grade IV nadi tidak teraba dan tekanan darah tak dapat diukur.
1.8.4        Sistem Pencernaan
Selaput mukosa kering, kesulitan menelan, nyeri tekan pada epigastrik, pembesarn limpa, pembesaran hati, abdomen teregang, penurunan nafsu makan, mual, muntah, nyeri saat menelan, dapat hematemesis, melena.
1.8.5        Sistem perkemihan
Produksi urine menurun, kadang kurang dari 30 cc/jam, akan mengungkapkan nyeri sat kencing, kencing berwarna merah.
1.8.6        Sistem Integumen.
Terjadi peningkatan suhu tubuh, kulit kering, pada grade I terdapat positif pada uji tourniquet, terjadi pethike, pada grade III dapat terjadi perdarahan spontan pada kulit.

2.         Diagnosa Keperawatan
Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi virus dengue
Resiko defisit cairan berhubungan dengan pindahnya ciran intravaskuler ke ekstravaskuler
Resiko syok hypovolemik berhubungan dengan perdarahan yang berlebihan, pindahnya cairan intravaskuler ke ekstravaskuler
Resiko gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake nutrisi yang tidak adekwat akibat mual dan nafsu makan yang menurun.
Resiko terjadi perdarahn berhubungan dnegan penurunan factor-fakto pembekuan darah ( trombositopeni )
Kecemasan berhubungan dengan kondisi klien yang memburuk dan perdaahan
Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangya informasi.

3.         Rencana Asuhan Keperawatan.
DP : Hipertermie berhubungan dengan proses infeksi virus dengue
Tujuan : Suhu tubuh normal
Kriteria hasil : Suhu tubuh antara 36 – 37
Nyeri otot hilang
Intervensi :
a.       Beri komres air kran
Rasional : Kompres dingin akan terjadi pemindahan panas secara konduksi
b.      Berika / anjurkan pasien untuk banyak minum 1500-2000 cc/hari ( sesuai toleransi )
Rasional : Untuk mengganti cairan tubuh yang hilang akibat evaporasi.
c.       Anjurkan pasien untuk menggunakan pakaian yang tipis dan mudah menyerap keringat
Rasional : Memberikan rasa nyaman dan pakaian yang tipis mudah menyerap keringat dan tidak merangsang peningkatan suhu tubuh.
d.      Observasi intake dan output, tanda vital ( suhu, nadi, tekanan darah ) tiap 3 jam sekali atau lebih sering.
Rasional : Mendeteksi dini kekurangan cairan serta mengetahui keseimbangan cairan dan elektrolit dalam tubuh. Tanda vital merupakan acuan untuk mengetahui keadaan umum pasien.
e.       Kolaborasi : pemberian cairan intravena dan pemberian obat sesuai program.
Rasional : Pemberian cairan sangat penting bagi pasien dengan suhu tubuh yang tinggi. Obat khususnyauntuk menurunkan suhu tubuh pasien.

DP 2. Resiko defisit volume cairan  berhubungan dengan pindahnya cairan intravaskuler ke ekstravaskuler.
Tujuan : Tidak terjadi devisit voume cairan
Kriteria :   Input dan output seimbang
Vital sign dalam batas normal
Tidak ada tanda presyok
Akral hangat
Capilarry refill < 3 detik
Intervensi :
a.       Awasi vital sign tiap 3 jam/lebih sering
Rasional : Vital sign membantu mengidentifikasi fluktuasi cairan intravaskuler
b.      Observasi capillary Refill
Rasional : Indikasi keadekuatan sirkulasi perifer
c.       Observasi intake dan output. Catat warna urine / konsentrasi, BJ
Rasional : Penurunan haluaran urine pekat dengan peningkatan BJ diduga dehidrasi.
d.      Anjurkan untuk minum 1500-2000 ml /hari ( sesuai toleransi )
Rasional : Untuk memenuhi kabutuhan cairan tubuh peroral
e.       Kolaborasi : Pemberian cairan intravena
Rasional : Dapat meningkatkan jumlah cairan tubuh, untuk mencegah terjadinya hipovolemic syok.

DP. 3 Resiko Syok hypovolemik berhubungan dengan perdarahan yang berlebihan, pindahnya cairan intravaskuler ke ekstravaskuler.
Tujuan : Tidak terjadi syok hipovolemik
Kriteria : Tanda Vital dalam batas normal
Intervensi :
a.       Monitor keadaan umum pasien
Raional ; Untuk memonitor kondisi pasien selama perawatan terutama saat terdi perdarahan. Perawat segera mengetahui tanda-tanda presyok / syok
b.      Observasi vital sign setiap 3 jam atau lebih
Rasional : Perawat perlu terus mengobaservasi vital sign untuk memastikan tidak terjadi presyok / syok
c.       Jelaskan pada pasien dan keluarga tanda perdarahan, dan segera laporkan jika terjadi perdarahan
Rasional : Dengan melibatkan psien dan keluarga maka tanda-tanda perdarahan dapat segera diketahui dan tindakan yang cepat dan tepat dapat segera diberikan.
d.      Kolaborasi : Pemberian cairan intravena
Rasional : Cairan intravena diperlukan untuk mengatasi kehilangan cairan tubuh secara hebat.
e.       Kolaborasi : pemeriksaan : HB, PCV, trombo
Rasional : Untuk mengetahui tingkat kebocoran pembuluh darah yang dialami pasien dan untuk acuan melakukan tindakan lebih lanjut.

DP. 4 Resiko gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake nutrisi yang tidak adekuat akibat mual dan nafsu makan yang menurun.
Tujuan : Tidak terjadi gangguan kebutuhan nutrisi
Kriteria : Tidak ada tanda-tanda malnutrisi
Menunjukkan berat badan yang seimbang.
Intervensi :
a.       Kaji riwayat nutrisi, termasuk makanan yang disukai
Rasional : Mengidentifikasi defisiensi, menduga kemungkinan intervensi
b.      Observasi dan catat masukan makanan pasien
Rasional : Mengawasi masukan kalori/kualitas kekurangan konsumsi makanan
c.       Timbang BB tiap hari (bila memungkinkan )
Rasional : Mengawasi penurunan BB / mengawasi efektifitas intervensi.
d.      Berikan makanan sedikit namun sering dan atau makan diantara waktu makan
Rasional : Makanan sedikit dapat menurunkan kelemahan dan meningkatkan masukan juga mencegah distensi gaster.
e.       Berikan dan Bantu oral hygiene.
Rasional : Meningkatkan nafsu makan dan masukan peroral
f.       Hindari makanan yang merangsang dan mengandung gas.
Rasional : Menurunkan distensi dan iritasi gaster.

DP. 5. Resiko terjadi perdarahan berhubungan dengan penurunan factor-faktor pembekuan darah ( trombositopeni )
Tujuan : Tidak terjadi perdarahan
Kriteria : TD 100/60 mmHg, N: 80-100x/menit reguler, pulsasi kuat
Tidak ada tanda perdarahan lebih lanjut, trombosit meningkat
Intervensi :
a.       Monitor tanda-tanda penurunan trombosit yang disertai tanda klinis.
Rasional : Penurunan trombosit merupakan tanda adanya kebocoran pembuluh darah yang pada tahap tertentu dapat menimbulkan tanda-tanda klinis seperti epistaksis, ptike.
b.      Monitor trombosit setiap hari
Rasional : Dengan trombosit yang dipantau setiap hari, dapat diketahui tingkat kebocoran pembuluh darah  dan kemungkinan perdarahan yang dialami pasien.
c.       Anjurkan pasien untuk banyak istirahat ( bedrest )
Rasional : Aktifitas pasien yang tidak terkontrol dapat menyebabkan terjadinya perdarahan.
d.      Berikan penjelasan kepada klien dan keluarga untuk melaporkan jika ada tanda perdarahan spt : hematemesis, melena, epistaksis.
Rasional : Keterlibatan pasien dan keluarga dapat membantu untuk penaganan dini bila terjadi perdarahan.
e.       Antisipasi adanya perdarahan : gunakan sikat gigi yang lunak, pelihara kebersihan mulut, berikan tekanan 5-10 menit setiap selesai ambil darah.
Rasional : Mencegah terjadinya perdarahan lebih lanjut.


ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK E.C
DENGAN DHF GRADE II
DI RUANG MENULAR ANAK RSUD DR. SOETOMO SURABAYA

A.    PENGKAJIAN
1.      Identitas
Nama                           : An. E.C
Umur                           : 9 thn
Alamat                                    : Tambak Asri 23/27 Surabaya
Agama                         : Kristen
Nama Ibu                    : Ny. T
Pendidikan                  :
Nama Ayah                 : Tn S
Pendidikan                  : SMA
Pekerjaan                     : Karyawan swasta
Diagnosa Medik          : DBD Grade II
Pengkajian tanggal      : 13 Desember 2001

2.      Keluhan Utama :
Sakit kepala, panas dan tidak nafsu makan.

3.      Riwayat penyakit sekarang :
Senin pagi panas, dibawa ke puskesmas dapat paracetamol. Panas turun. Rabu malam anak tiba-tiba muntah-muntah air, makan tidak mau, minum masih mau. Kamis jam 03 pagi keluar darah dari hiding pada waktu bersin, keluhan pusing, mencret air, dibawa ke IRD.

4.      Riwayat penyakit dahulu
Sebelumnya klien tidak penah dirawat karena penyakit apapun.

5.      Riwayat penyakit keluarga
Menurut keluarga ( Ibu ) tidak ada keluarga yang dalam waktu dekat ini menderita sakit DBD.

6.      Riwayat kesehatan lingkungan.
Menurut ibu kondisi lingkungan rumah cukup bersih, walaupun tinggal dekat kali kecil, sekitar rumah terdapat beberapa ban bekas untuk menanam tanaman yang belum dipakai, bak mandi dikuras setiap seminggu 1 kali. Menurut ibu seminggu yang lalu ada tetangga gang yang menderita DHF, tetapi sekarang sudah sembuh, dan lingkungan wilayah belum pernah disemprot.

7.      Riwayat kehamilan
Anak lahir pada usia kehamilan 7 bulan, dengan berat badan lahir 4 kg, ibu tidak tahu mengapa kehamilannya hanya 7 bulan. Lahir spontan dan selama 1 tahun anak mendapat imunisasi lengkap dan minum PASI Lactona s/d 2 tahun.

8.      Pengkajian Persistem
a.       Sistem Gastrointestinal
Nafsu makan menurun, anak hanya mau makan 3 sendok makan, minum tidak suka, harus dipaksakan baru mau minum. Mual tidak ada, muntah tidak terjadi. Terdapat nyeri tekan daerah hepar dan asites positif, bising usus 8x/mnt.
b.      Sistem muskuloskeletal :
Tidak terdapat kontraktur sendi, tidak ada deformitas, keempat ekstremitas simetris, kekuatan otot baik.

c.       Sistem Genitourinary
BAK lancar, spontan, warna kuning agak pekat ditampung oleh ibu untuk diukur, BAB dari malam belum ada.

d.      Sistem Respirasi.
Pergerakan napas simetris, tidak terdapt pernapasan cuping hidung, pd saat pengkajian tanda-tanda epistaksis sudah tidak ada, Frekuensi napas 25x/menit. Bunyi nafas tambahan tidak terdengar.

e.       Sistem Cardiovaskuler
TD : 100/60, nadi 98x/mnt, akral dingin, tidak terdapat tanda-tanda cyanosis, cap. Refill < 3 detik, tidak terjadi perdarahan spontan, tanda-tanda petikhie spontan tidak terlihat, hanya tanda pethike bekas rumple leed.